Beritabaru.com.Bulukumba – Desa Gentareng kini tak lagi damai seperti dulu. Malam-malam yang seharusnya hening berubah menjadi mencekam. Deru sungai yang mengalir deras kini membawa ketakutan, bukan ketenangan. Abrasi yang semakin parah seolah menjadi teror tak terlihat, mengintai warga setiap waktu.
Di sebuah rumah sederhana di tepi sungai, Asni, seorang ibu dua anak, berkisah tentang malam-malamnya yang penuh kegelisahan. “Hujan deras tadi malam membuat tebing sungai di belakang rumah kami runtuh lagi. Setiap malam saya tidur dengan rasa takut, membayangkan tanah rumah ini ikut terbawa sungai,” ujarnya sambil menatap anak-anaknya yang tertidur lelap.
Tak hanya Asni, warga lain pun merasakan hal serupa. Rumah-rumah yang dulunya berdiri kokoh kini berjarak beberapa meter saja dari bibir sungai yang terus meluas. Tak ada yang tahu kapan bencana besar akan datang.
Ironisnya, di tengah situasi genting ini, suara warga seolah tak bergema. Kepala desa dan camat setempat dinilai hanya diam, seakan abrasi hanyalah persoalan kecil. “Kami sudah berulang kali mengadu. Tapi apa yang kami dapat? Janji tanpa bukti,” ujar Hasrul, salah satu tokoh masyarakat desa.
Namun, harapan belum sepenuhnya padam. Warga kini berharap pada Bupati Bulukumba, satu-satunya sosok yang mereka yakini bisa membawa perubahan. “Kami tidak meminta banyak, hanya langkah nyata untuk menyelamatkan kami dari abrasi. Apakah itu terlalu sulit?” ucap Hasrul dengan nada penuh harap.
Di tengah ancaman abrasi, warga mulai mencari cara untuk melindungi diri sendiri. Ada yang menumpuk karung pasir di tepi sungai, ada pula yang mulai membangun tembok penahan sederhana. Namun, usaha mereka hanyalah setetes air di lautan. Tanpa dukungan pemerintah, ancaman abrasi akan terus menghantui mereka.
Malam terus beranjak. Deru sungai terdengar semakin kencang, seperti bisikan halus yang mengingatkan bahwa waktu tidak berpihak pada warga Gantareng. Kini, mereka hanya bisa menunggu—menunggu keajaiban atau tindakan nyata yang mungkin tak pernah datang.
“Sampai kapan kami harus hidup seperti ini?” suara lirih Asni menggema di tengah gelapnya malam, mewakili jeritan hati seluruh warga Gantareng.*