Tangerang – Tembok tinggi Lapas Pemuda Kelas IIA Kota Tangerang kembali memicu tanda tanya besar. Bukan soal pembinaan, tapi dugaan kuat pelanggaran prosedur dan perlakuan tak manusiawi terhadap warga binaan berinisial MF. Kasus ini kini menyulut amarah publik setelah keluarga MF merasa diabaikan, dibungkam, bahkan dipermalukan secara diam-diam.
Adalah Meta, ibu MF, yang berulang kali mendatangi Lapas hanya untuk mengambil kembali cincin kawin milik anaknya—sebuah simbol sakral keluarga yang disita tanpa alasan jelas. Namun, alih-alih mendapat pelayanan, ia justru dihadapkan pada tembok birokrasi dan sikap dingin petugas.
“Saya sudah datang berkali-kali, tapi dipersulit. Tidak ada penjelasan, seperti saya bukan siapa-siapa. Padahal cincin itu sangat penting bagi keluarga kami,” ujar Meta, dengan suara bergetar.
Lebih ironis lagi, saat cincin akhirnya dikembalikan, pihak Lapas menyertakan foto MF dalam kondisi yang menurut Meta tidak masuk akal.
“Saya tidak percaya itu foto anak saya. Terlihat seperti sudah diatur untuk menutupi sesuatu. Ini bukan soal barang lagi, tapi soal kejujuran dan rasa kemanusiaan,” tegasnya.
Puncak kemarahan Meta muncul ketika ia mendapati anaknya telah dipindahkan secara diam-diam ke Lapas di Pekalongan, tanpa pemberitahuan, tanpa surat resmi, tanpa hak informasi sebagai orang tua.
“Saya baru tahu anak saya dipindahkan dari informasi orang lain. Bahkan Lapas tujuan pun tidak disebutkan. Kami seperti diabaikan total,” katanya geram.
Ketertutupan ini tak hanya menyakiti keluarga, tapi juga mencederai prinsip keterbukaan publik. Beberapa jurnalis yang mencoba mengonfirmasi langsung ke Lapas pun ditolak mentah-mentah. Pintu informasi ditutup rapat.
Ketua Gabungan Wartawan Indonesia (GWI) DPC Kota Tangerang, Muhammad Aqil Bahri, langsung angkat suara dan mengecam keras sikap Lapas yang dianggap melanggar prinsip negara hukum.
“Ini bentuk arogansi birokrasi dan pembungkaman informasi. Lapas bukan kerajaan pribadi, ini lembaga negara yang wajib terbuka dan melayani publik,” ujarnya lantang.
Aqil juga mendesak Kementerian Hukum dan HAM segera turun tangan. Ia menyebut perlakuan terhadap keluarga MF bisa menjadi preseden buruk dalam penegakan HAM di lingkungan pemasyarakatan.
“Kalau satu keluarga diperlakukan seperti ini, berapa banyak kasus serupa yang tidak pernah muncul ke publik? Ini alarm bagi kita semua,” tutupnya.
Kasus MF kini menjadi simbol persoalan laten dalam sistem pemasyarakatan: minim transparansi, lemahnya pengawasan, dan hilangnya sisi kemanusiaan. Masyarakat menanti jawaban: Apa yang sebenarnya terjadi di balik jeruji besi itu?***@red.