Tiga Wartawan Ditahan dan Diintimidasi Saat Liput Aksi di PT Dinamika Selaras Jaya, Kapolda Bengkulu Didesak Bertindak Tegas

BENGKULU SELATAN – Kebebasan pers kembali tercoreng. Tiga wartawan dari media online — Sozanolo Lase dari RealitasTerkini.com, Deved Firmansyah dari InfoOMBB.com, dan kontributor P3Kinews.com — diduga menjadi korban intimidasi dan penahanan saat meliput aksi unjuk rasa di area PT Dinamika Selaras Jaya, Senin (15/7/2025).

 

Meskipun telah menunjukkan identitas resmi sebagai jurnalis, ketiganya diamankan oleh aparat Kepolisian Resort Kaur. Ironisnya, hingga berita ini diturunkan, identitas pers mereka belum juga dikembalikan. Perlakuan tersebut memicu gelombang kecaman dari komunitas pers dan pegiat hak asasi manusia.

 

Tak hanya jurnalis yang mendapat tekanan, para demonstran juga mengalami berbagai tindakan represif, mulai dari intimidasi, pemukulan, hingga luka-luka. Bahkan, terdapat laporan seorang peserta aksi mengalami luka tembak dalam insiden yang memanas itu.

 

Media InfoOMBB.com secara tegas mengecam dugaan penyalahgunaan wewenang oleh aparat. Dalam siaran persnya, mereka menyatakan bahwa tindakan tersebut mencederai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kebebasan jurnalis dalam menjalankan tugasnya.

 

“Wartawan memiliki hak untuk meliput kapan saja dan di mana saja tanpa perlu izin, selama mereka menjalankan tugas jurnalistik. Penahanan dan intimidasi ini adalah bentuk nyata pelanggaran kebebasan pers dan hak asasi manusia,” tegas Pemimpin Redaksi InfoOMBB.com.

 

Ketiga wartawan tersebut hadir di lokasi untuk meliput aksi yang digelar oleh Aliansi Selamatkan Bengkulu Selatan (ASBS), yang memperjuangkan hak atas tanah adat di Kecamatan Kedurang dan Kedurang Ilir. Dalam keterangannya, Ketua ASBS, Herman Lutfi, menyebut PT Dinamika Selaras Jaya telah mencaplok lahan adat warga secara sepihak.

 

Konflik agraria ini telah berlangsung sejak 2007. Meski PT Dinamika Selaras Jaya memiliki izin lokasi seluas 7.000 hektare di wilayah Kabupaten Kaur, namun lahan adat di wilayah Bengkulu Selatan ikut diklaim perusahaan tanpa dasar hukum yang sah. Perusahaan sendiri diketahui mulai beroperasi sejak 2020 hingga 2022.

 

Insiden pada 15 Juli itu menjadi babak baru dari panjangnya konflik lahan yang belum terselesaikan. Kini, perhatian publik tertuju pada aparat penegak hukum yang dinilai justru bertindak represif terhadap jurnalis dan masyarakat.

 

Komunitas pers, LSM, dan pegiat HAM mendesak Kapolda Bengkulu hingga Kapolri agar segera mengusut tuntas tindakan aparat yang melanggar hukum serta memastikan perlindungan terhadap jurnalis yang menjalankan tugasnya di lapangan.

 

“Ini bukan hanya soal wartawan ditahan. Ini soal demokrasi dan hak publik atas informasi. Kapolri harus bertindak,” ujar salah satu pegiat kebebasan pers di Bengkulu.

 

Kasus ini menjadi alarm keras bahwa kebebasan pers dan hak masyarakat adat masih menghadapi tantangan besar di era demokrasi. Publik kini menanti, apakah hukum akan benar-benar ditegakkan atau kembali bungkam oleh kuasa.***@red.

(Tim Redaksi)

Pos terkait