Minahasa Utara – Asap hitam membubung tinggi, menari-nari di atas gelombang yang mengamuk. Foto itu, yang kini tersebar luas di media sosial, menangkap momen tepat sebelum semuanya menjadi gelap. Seorang ayah, wajahnya penuh keputusasaan namun matanya memancarkan tekad yang luar biasa, memeluk erat putranya. Tubuh kecil itu hampir tak terlihat di balik pelukan erat sang ayah, seakan terlindung dari amukan api dan gelombang. Air mata membasahi pipi sang ayah, bercampur dengan air laut yang dingin dan asin. Itu bukan air mata putus asa, melainkan air mata cinta yang tak terbendung.
Foto itu bukan sekadar gambar. Itu adalah monumen abadi bagi cinta seorang ayah, sebuah bukti nyata tentang pengorbanan yang tak ternilai. Itu adalah potret kepahlawanan tanpa tanda jasa, tanpa seragam, tanpa senjata, hanya dengan kekuatan cinta yang mampu mengalahkan rasa takut dan maut. Ia adalah simbol harapan di tengah keputusasaan, sebuah bukti bahwa bahkan dalam situasi paling mengerikan sekalipun, cinta tetap mampu bertahan.
Hari-hari berlalu, badan-badan ditemukan, sebagian utuh, sebagian lagi hanya tinggal puing-puing. Pencarian pun berakhir. Foto itu tetap beredar, dibagikan berjuta-juta kali, mengingatkan kita pada kekuatan cinta yang mampu menembus batas kematian. Ia menjadi pengingat akan betapa berharganya setiap nyawa, dan betapa besarnya pengorbanan seorang ayah untuk anaknya. Foto itu, Foto Termahal pada 20 Juli 2025, akan selamanya terukir dalam sejarah, sebagai bukti abadi betapa mahalnya harga sebuah pelukan. Sebuah pelukan maut yang penuh cinta.
Entah kenapa tahun ini seolah laut tidak bersahabat, hingga berulang kali menampakkan kemarahannya. Tragedi KM Barcelona 5 hanyalah salah satu dari sekian banyak peristiwa yang mengingatkan kita akan betapa rapuhnya nyawa manusia di hadapan kekuatan alam. Semoga peristiwa ini menjadi pembelajaran bagi kita semua, untuk selalu waspada dan menghargai setiap anugerah kehidupan. Semoga pula, tidak ada lagi korban jiwa yang harus ditelan ganasnya laut. Semoga laut kembali tenang, dan senyum anak-anak kembali ceria.
Penulis: Muh. Yunus