Gowa – Kabupaten Gowa kembali menunjukkan denyut perlawanan rakyat. Tak hanya dikenal lewat sejarah perjuangan masa silam, kini Gowa menjadi saksi lahirnya seruan keras dari Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) Gowa untuk membangun kekuatan rakyat yang bersatu melawan sistem yang menindas.
Di bawah kepemimpinan Nurfaidi, S.Hum selaku Ketua Umum dan Ardiansyah Sakka sebagai Sekretaris Jenderal, FSBPI Gowa menegaskan bahwa kondisi buruh dan rakyat pekerja di Gowa tengah berada dalam situasi darurat. Alih-alih sejahtera di tengah geliat industri dan investasi, kaum buruh justru semakin terjepit oleh sistem kerja kontrak, outsourcing, upah murah, dan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak tanpa pesangon.
Pekerja Perempuan, Petani, Mahasiswa, dan Kaum Miskin Kota Sama-Sama Terjepit
Pekerja perempuan menjadi kelompok paling rentan: digaji di bawah UMK, tidak diakui hak cuti haidnya, hingga menghadapi pelecehan dan beban kerja berlebih. Sementara itu, petani, mahasiswa, dan kaum miskin kota pun tak lepas dari tekanan: dari akses tanah yang sulit, harga jual hasil tani yang tak adil, kurikulum pendidikan yang menjauh dari realita sosial, hingga penggusuran warga miskin di perkotaan.
Namun ironisnya, gerakan rakyat di Gowa justru berjalan sendiri-sendiri. Buruh memperjuangkan upahnya sendiri, petani soal lahannya, mahasiswa dengan demo tunggal, sementara warga miskin kota melawan penggusuran secara terpisah. Fragmentasi ini, menurut FSBPI Gowa, adalah bagian dari strategi pecah belah yang sistematis.
“Penguasa tidak takut pada rakyat yang marah, tapi takut pada rakyat yang bersatu,” tegas Nurfaidi dalam pernyataan resminya.
FSBPI menyebut, berbagai taktik dijalankan untuk membatasi ruang gerak rakyat: mulai dari regulasi anti-serikat, pembatasan aksi massa, hingga stigmatisasi gerakan dengan label “radikal” atau “komunis”. Bahkan, proyek-proyek hibah dan kemitraan teknokratik dianggap sebagai alat kooptasi yang menjauhkan organisasi dari garis perlawanan sejati.
Dalam pernyataan sikapnya, FSBPI Gowa menyerukan:
“Gerakan rakyat di Kabupaten Gowa sedang dalam keadaan darurat. Kami menyerukan kepada seluruh kekuatan rakyat—buruh, mahasiswa, petani, nelayan, kaum miskin kota, perempuan pekerja—untuk bersatu dalam satu barisan perjuangan.”
Persatuan yang dimaksud bukan sekadar ajakan moral, tapi kebutuhan strategis untuk menghadapi sistem ekonomi-politik yang eksploitatif dan korup.
“Kita harus membangun kekuatan dari akar rumput: dari kampung, dari pabrik, dari ruang kelas, dari jalanan. Gowa bisa menjadi titik tolak kebangkitan gerakan rakyat Indonesia, jika kita berani meninggalkan ego sektoral dan membangun kerja sama yang tulus dan revolusioner.”
FSBPI Gowa menutup pernyataan sikapnya dengan seruan keras dan penuh harapan:
“Dari Gowa untuk Indonesia, Mari satukan kekuatan, rapatkan barisan, dan lawan penindasan bersama-sama!”