Bulukumba – Isu rangkap jabatan kembali mengguncang Kabupaten Bulukumba. Sejumlah oknum aparatur desa dan pegawai pemerintah diduga merangkap jabatan sekaligus menerima honor dari berbagai sumber anggaran negara. Praktik ini bukan hanya dinilai melanggar aturan, tetapi juga rawan konflik kepentingan serta membuka peluang penerimaan gaji ganda.
Laporan masyarakat menyebutkan, dugaan rangkap jabatan melibatkan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), kepala dusun, ASN, P3K, pendamping sosial PKH, hingga tenaga teknis pendidikan (TEKDIK). Padahal, berbagai regulasi secara tegas melarang praktik tersebut.
Regulasi yang Dilanggar:
Pendamping PKH: Wajib bekerja 40 jam/minggu, dilarang rangkap jabatan (Permensos No. 249/2014).
Ketua/Anggota BPD: Harus netral, dilarang merangkap jadi perangkat desa atau pendamping PKH (Permendesa No. 3/2015, Permendagri No. 110/2016, UU Desa No. 6/2014).
Guru P3K/ASN: Dilarang rangkap jabatan (UU No. 5/2014, PP No. 34/2014).
Tenaga TEKDIK/PNS: Tunduk larangan rangkap jabatan (PP No. 29/1997, PP No. 47/2005).
Kepala Dusun/Honorer: Dilarang menerima gaji dari dua sumber APBN/APBD (UU Desa Pasal 51, Permendagri No. 67/2017).
Aturan Menkeu: Melarang penerimaan anggaran ganda dari negara.
Pelanggaran terhadap aturan-aturan tersebut bisa berujung pada sanksi administratif hingga pemecatan.
Desakan Tim Monitoring:
Aktivis Bulukumba, Andis Brow, menilai Pemkab Bulukumba tak bisa lagi tinggal diam. Ia menegaskan perlunya pembentukan tim monitoring lintas instansi, melibatkan Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Dinas PMD, hingga Inspektorat.
“Kalau rangkap jabatan ini dibiarkan, maka wibawa pemerintah desa runtuh. Anggota BPD tugasnya mengawasi, bukan mencari tambahan honor dengan jabatan lain. Begitu pula pendamping PKH, guru P3K, dan tenaga pendidikan. Semua sudah punya kewajiban penuh waktu. Kalau satu orang pegang dua jabatan, jelas melanggar aturan dan merugikan negara,” tegasnya.
Tantangan untuk Pemkab Bulukumba:
Masyarakat kini mendesak agar Bupati Bulukumba bersama Inspektorat, DPRD, Kepolisian, dan Kejaksaan segera turun tangan. Tanpa pengawasan ketat, praktik rangkap jabatan dikhawatirkan akan terus mengakar dan menurunkan kepercayaan publik terhadap integritas pemerintahan desa.
Kini, bola panas berada di tangan Pemkab Bulukumba. Publik menunggu: apakah aturan benar-benar ditegakkan atau justru praktik rangkap jabatan ini kembali dibiarkan tanpa sanksi tegas?***