HALSEL – Di sudut timur Indonesia, tepatnya di Kabupaten Halmahera Selatan, Kecamatan Bacan, Provinsi Maluku Utara, terdapat sebuah desa kecil bernama Amassing Kali Mendi. Desa ini, meskipun tidak dikenal luas oleh masyarakat Indonesia secara umum, menyimpan kisah panjang tentang ketangguhan dan penderitaan warganya yang hidup dalam bayang-bayang bencana yang tak kunjung usai: banjir.
Hampir setiap tahun, ketika musim hujan tiba, Desa Amassing Kali Mendi seolah berubah menjadi danau dadakan. Air meluap dari sungai yang melintasi desa, merendam rumah, kebun, sekolah, dan fasilitas umum lainnya. Banjir bukan lagi bencana luar biasa bagi warga; ia telah menjadi tamu rutin yang datang tanpa diundang, namun tetap harus diterima dengan pasrah.
Warga desa sudah sangat lelah dengan kondisi ini. Rumah-rumah mereka rusak, sawah dan ladang yang menjadi sumber penghidupan hancur, dan anak-anak tidak bisa bersekolah selama berhari-hari. Bahkan, dalam beberapa kejadian banjir besar, warga harus mengungsi ke tempat yang lebih tinggi, membawa serta anak-anak, lansia, dan barang seadanya. Harapan mereka sederhana: mereka ingin hidup tenang, tanpa ketakutan setiap kali awan gelap menggantung di langit.
Namun yang lebih menyakitkan bukan hanya bencana itu sendiri, melainkan sikap pemerintah daerah yang terkesan tutup mata dan duduk manis di balik meja kekuasaan. Bertahun-tahun lamanya, warga telah menyampaikan keluhan, menulis surat, bahkan meminta audiensi dengan pihak terkait. Namun jawaban yang datang selalu klise dan tak membuahkan hasil nyata: “akan dikaji”, “sedang diupayakan”, atau “masuk dalam rencana pembangunan”.
Sementara itu, penderitaan warga terus berulang. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang tidak aman. Petani merugi karena gagal panen. Aktivitas ekonomi desa lumpuh. Warga desa hanya bisa berharap pada kemurahan hati alam dan solidaritas sesama tetangga, karena dari pemerintah, mereka hanya menerima janji-janji kosong.
Pemerintah daerah seolah lebih sibuk mengurus proyek-proyek mercusuar di ibu kota kabupaten, yang lebih bersifat kosmetik ketimbang solutif. Padahal, di desa seperti Amassing Kali Mendi, satu proyek normalisasi sungai atau pembangunan tanggul sederhana bisa menyelamatkan ratusan kepala keluarga dari banjir tahunan.
Keadilan pembangunan tampaknya belum benar-benar menyentuh desa-desa terpencil di Maluku Utara. Ketimpangan kebijakan begitu terasa. Slogan “pembangunan merata” terdengar hanya sebagai jargon politik, tanpa implementasi nyata di lapangan.
Kini, warga Desa Amassing Kali Mendi hanya bisa berharap bahwa suara mereka, jeritan mereka, bisa sampai ke telinga pemimpin yang memiliki hati nurani. Mereka tidak meminta kemewahan, hanya keadilan dan perhatian. Mereka ingin hidup layak, seperti warga Indonesia lainnya.
Sampai kapan mereka harus bersabar? Sampai kapan mereka menunggu?
Warga Amassing Kali Mendi bukan tidak berdaya. Mereka terus bersuara, terus bertahan, dan terus berharap. Namun jika pemerintah daerah tetap memilih diam, maka sejarah akan mencatat bahwa di satu bagian Indonesia, ada sekelompok rakyat yang ditinggalkan dalam genangan air dan duka, sementara penguasanya hanya duduk manis, melihat dari kejauhan
Tandanya harga desa amasing kali yang enggan di sebut namanya tutupnya
Pewarta:Yasin Ali