Diduga Salah Diagnosis, Dokter Vonis Difteri Lewat Google, Massa Geruduk Kantor Dinkes Tanjungbalai!

Beritabaru.com.Tanjungbalai – Suasana panas menyelimuti Kantor Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Tanjungbalai, Senin (17/2/2025) pagi. Puluhan massa dari Tim Hanif dan keluarga korban memadati halaman kantor, memprotes dugaan malapraktik yang menewaskan seorang balita. Mereka menuntut keadilan atas vonis difteri yang diduga dilakukan seorang dokter spesialis anak hanya bermodalkan senter dan pencarian Google!

Dalam aksi tersebut, massa mengangkat spanduk bernada kecaman. Salah satu tulisan berbunyi, “Bekukan izin praktek dr. J Sp.A karena telah memvonis pasien hanya bermodalkan senter dan Google!”. Aksi ini menjadi viral setelah kematian tragis Fahira Althafunnisa alias Icha (4,1), balita yang didiagnosis difteri tanpa pemeriksaan laboratorium.

Vonis Gegabah, Nyawa Melayang

Hanif, koordinator aksi, menyebut bahwa kesalahan diagnosis ini bukan sekadar kelalaian, tetapi telah memicu kepanikan di Kota Tanjungbalai. Bahkan, akibat stigma penyakit menular, kakak korban, Mahira Syakila, mengalami trauma berat hingga enggan bersekolah.

“Mahira sampai takut melihat orang berbaju putih. Setiap ada petugas medis datang ke sekolah untuk pemeriksaan, dia langsung bersembunyi ketakutan!” teriak Hanif dalam orasinya.

Tak hanya keluarga korban, warga di sekitar rumah duka di Kecamatan Sei Tualang Raso pun ikut resah. Ketika prosesi pemakaman Icha berlangsung, pelayat yang datang bisa dihitung dengan jari. Banyak yang takut tertular karena vonis sang dokter yang tak berdasar.

Bentrok dengan Aparat, Dinkes Bungkam!

Unjuk rasa sempat memanas ketika massa mendesak agar pejabat Dinkes keluar memberikan klarifikasi. Namun, tak ada satu pun perwakilan yang muncul. Hal ini memicu emosi demonstran hingga terjadi aksi saling dorong dengan aparat kepolisian.

Yuli Andriyani, ibu korban, bahkan histeris di depan gerbang kantor Dinkes. “Anak saya meninggal karena kesalahan kalian! Kalian yang membuat keluarga kami hancur! Keluar dan pertanggungjawabkan!” jeritnya.

Tak mendapat respons dari Dinkes, massa pun bergerak ke gedung DPRD Kota Tanjungbalai.

RDP DPRD: Kisah Pilu di Balik Kematian Icha

Di depan anggota dewan, Efri Zuandi, ayah korban, memaparkan perjalanan tragis anaknya. Dari masuk IGD RSUD Tengku Mansyur, ditelantarkan di RS USU Medan selama 1,5 jam, hingga akhirnya membawa Icha ke rumah sakit di Penang, Malaysia. Namun, ketika mereka pulang ke Indonesia, keluarga ini malah mendapat perlakuan tak manusiawi.

“Kami ditahan di Bandara Kualanamu selama dua jam! Anak kami kelaparan, kelelahan! Semua karena vonis asal-asalan dokter itu!” seru Efri, suaranya bergetar menahan emosi.

DPRD: “Ini Harus Diusut Tuntas!”

Mendengar paparan keluarga korban, pimpinan RDP Martin Chaniago menegaskan bahwa DPRD tidak akan tinggal diam.

“Ini bukan perkara kecil. Pemerintah harus mengevaluasi sistem kesehatan kita. Jangan sampai ada lagi nyawa melayang akibat diagnosa gegabah!” tegasnya.

Teddy Erwin, anggota DPRD lainnya, menyoroti lemahnya pelayanan kesehatan. “Rumah sakit kita memang memprihatinkan. Tapi dokter tak bisa asal vonis tanpa diagnosa mendalam. Ini bukan permainan, ini nyawa manusia!” ujarnya tajam.

Sementara itu, Nuriana Silaban menyoroti dampak psikologis kasus ini terhadap keluarga korban. Ia berjanji akan turun langsung ke sekolah Mahira Syakila untuk memastikan hak pendidikannya kembali pulih.

Tuntutan Belum Usai, Semua Mata Tertuju ke Langkah Pemerintah

Setelah pertemuan di DPRD, massa akhirnya membubarkan diri. Namun, perjuangan mereka belum berakhir. DPRD berjanji akan memanggil pihak terkait dalam RDP lanjutan pada Senin (24/2/2025). Mereka juga akan mengunjungi sekolah Mahira guna memulihkan nama baik keluarga yang terkena stigma akibat dugaan salah diagnosis ini.

Kasus ini telah menjadi perhatian luas dan menampar sistem kesehatan di Kota Tanjungbalai. Akankah ada keadilan bagi keluarga korban? Atau justru ini akan menjadi satu dari sekian banyak kasus yang berlalu begitu saja?**

 

 

Pos terkait