Beritabaru.com.HAL – SEL– Kasus dugaan eksploitasi seksual terhadap seorang anak perempuan berinisial SM di Halmahera Selatan yang menyeret 16 pria dewasa sebagai pelaku, membuka wajah muram sistem perlindungan anak di negeri ini. Fakta bahwa kejadian tersebut berlangsung selama dua tahun tanpa penanganan serius merupakan pertanda kuat bahwa kita sedang menghadapi kegagalan kolektif—dari negara, masyarakat, hingga media.
Lebih menyedihkan, muncul narasi-narasi publik yang justru menyamakan tragedi ini dengan “prostitusi.” Relasi yang bersifat transaksional antara korban dan pelaku dipakai sebagai alasan untuk menyamarkan kekerasan menjadi seolah-olah bentuk kesepakatan. Ini adalah kekeliruan besar, baik dari sisi hukum, etika, maupun nalar keadilan sosial.
Bukan Prostitusi, Ini Eksploitasi
Penting untuk menegaskan bahwa dalam hukum Indonesia, tidak ada bentuk hubungan seksual yang sah antara orang dewasa dan anak di bawah umur, dengan alasan apa pun. Anak tidak memiliki kapasitas hukum untuk menyatakan persetujuan, terlebih dalam konteks relasi seksual berunsur transaksi.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak secara eksplisit mengatur bahwa setiap bentuk eksploitasi seksual terhadap anak, dengan atau tanpa paksaan fisik, merupakan tindak pidana. Pasal 76D dan 76I menyebutkan bahwa memberi, menjanjikan, atau memperoleh anak untuk tujuan eksploitasi seksual adalah pelanggaran serius.
Menyamakan praktik ini dengan prostitusi adalah bentuk penyesatan publik. Alih-alih memperjelas masalah, istilah tersebut justru menyamarkan substansi hukum dan memperlemah posisi korban.
Bahaya Normalisasi Kekerasan
Narasi bahwa “tidak ada paksaan berarti tidak ada kekerasan” merupakan bentuk logika keliru yang sangat berbahaya. Kekerasan seksual terhadap anak tidak harus selalu berbentuk luka fisik. Ia bisa muncul dalam bentuk tekanan ekonomi, manipulasi psikologis, atau relasi kuasa yang timpang.
Ketika masyarakat mulai menerima narasi semacam ini, maka sesungguhnya kita sedang melegalkan bentuk-bentuk kekerasan yang tidak kasat mata. Anak-anak akan semakin terpinggirkan dari ruang aman, dan pelaku akan merasa dilindungi oleh kabut opini publik.
Kegagalan Sosial yang Kolektif
Yang tak kalah penting dari kasus ini adalah menyadari bahwa ia tidak berdiri sendiri. Dua tahun berlangsung tanpa penindakan berarti ada pembiaran sosial. Dimana posisi keluarga, tokoh masyarakat, sekolah, dan pemerintah desa ketika anak berada dalam situasi rentan semacam itu?
Kita tidak hanya sedang berhadapan dengan kejahatan individual, tetapi juga dengan sistem sosial yang membiarkan atau gagal mengenali tanda-tanda eksploitasi. Dalam konteks ini, diam adalah bagian dari kekerasan itu sendiri.
Peran Media dan Etika Narasi
Media massa memiliki tanggung jawab moral dan etis yang besar dalam kasus semacam ini. Sayangnya, dalam kasus SM, sebagian media justru ikut memperdebatkan istilah atau memperkuat narasi transaksional. Ini adalah bentuk kelalaian profesional yang harus dikoreksi.
Etika jurnalistik, seperti yang diatur dalam Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers, menuntut jurnalis untuk berpihak kepada korban, khususnya korban anak, dan tidak menyebarluaskan informasi yang dapat merugikan atau memperkeruh penegakan hukum. Media bukan hanya pelapor peristiwa, tapi juga penentu arah diskursus publik.
Tanggung Jawab Hukum Tidak Satu Arah
Penegakan hukum terhadap pelaku eksploitasi seksual harus dilakukan secara tegas, menyeluruh, dan tanpa kompromi. Namun itu belum cukup. Mereka yang dengan sengaja menyebarkan narasi yang menyesatkan, melemahkan posisi korban, dan mengaburkan fakta hukum juga patut dimintai pertanggungjawaban.
KUHP Pasal 55 dan 56 memungkinkan aparat menindak pihak yang turut serta atau membantu dalam tindak pidana. Dalam konteks ini, menyebarkan narasi yang menyamakan eksploitasi anak dengan prostitusi bukan hanya keliru secara moral, tetapi bisa dilihat sebagai bagian dari upaya pengaburan kejahatan.
Anak bukan objek transaksi. Tidak ada bentuk “kesepakatan” yang sah antara anak dan orang dewasa dalam relasi seksual. Tidak ada istilah “prostitusi anak” yang dapat dibenarkan dalam kerangka hukum. Yang ada hanyalah eksploitasi, kekerasan, dan pelanggaran terhadap hak anak.
Kasus ini harus menjadi momentum bagi semua pihak—negara, masyarakat, media, dan penegak hukum—untuk kembali ke jalur keadilan yang tegas dan berpihak. Netralitas dalam kasus kekerasan terhadap anak bukanlah pilihan, melainkan bentuk pembiaran yang menyakitkan. ( LM.Tahapary