Jakarta – Polemik pembebasan bersyarat mantan Ketua DPR RI sekaligus terpidana kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto, kembali menampar wajah penegakan hukum di Indonesia. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, keputusan Mahkamah Agung (MA) yang memangkas hukuman Setnov dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun lewat Peninjauan Kembali (PK) adalah blunder besar yang meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
“Putusan ini membuktikan pemerintah dan aparat hukum tidak serius menindak tegas pelaku korupsi. Alih-alih memberi efek jera, justru memberi jalan lunak bagi koruptor kelas kakap,” tegas peneliti ICW, Wana Alamsyah.
Ironisnya, alih-alih introspeksi, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) justru sibuk membantah adanya perlakuan istimewa. Kepala Subdirektorat Kerja Sama Pemasyarakatan, Rika Aprianti, mengklaim pembebasan bersyarat Setnov murni karena telah memenuhi syarat administratif dan substantif, mulai dari berkelakuan baik hingga melunasi denda.
Namun, publik menilai pembelaan itu hanya formalitas belaka. Pasalnya, rekam jejak Setnov selama di penjara penuh kontroversi—mulai dari tertangkap kamera plesiran hingga kerap terlihat menikmati fasilitas mewah di balik jeruji. Fakta ini membuat klaim “tidak ada perlakuan istimewa” terdengar hambar.
Sabtu, 16 Agustus 2025, Setnov resmi meninggalkan Lapas Sukamiskin. Meski statusnya masih sebagai klien Balai Pemasyarakatan (Bapas) Bandung hingga 2029, publik menganggap keringanan ini sebagai tamparan keras bagi semangat pemberantasan korupsi.
Kritik mengemuka bahwa negara justru memberi “karpet merah” bagi koruptor, sementara rakyat kecil yang melakukan pelanggaran sepele kerap dihukum berat tanpa kompromi. “Inilah wajah asli penegakan hukum kita—tajam ke bawah, tumpul ke atas,” sindir banyak aktivis antikorupsi.***@red.