HALMAHERA SELATAN, MALUKU UTARA — Ketidakpastian yang berkepanjangan membuat keluarga Musa Lauri akhirnya mengambil keputusan besar. Setelah bertahun-tahun memperjuangkan hak atas tanah mereka yang digunakan secara paksa untuk perluasan Bandara Oesman Sadik di Desa Marabose, Kecamatan Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, mereka memutuskan untuk menemui langsung Gubernur Maluku Utara 14/6/2025
Tanah seluas beberapa hektar milik keluarga Musa Lauri telah digunakan sejak tahun 2019 oleh pihak bandara tanpa ganti rugi dan tanpa ada kesepakatan yang jelas. Keluarga menuturkan bahwa mereka telah mencoba berbagai cara untuk menyelesaikan perkara ini secara baik-baik, termasuk menghadiri undangan dari pihak bandara dalam beberapa pertemuan formal. Namun, semua usaha itu berujung pada kebuntuan. Harapan yang sempat tumbuh sirna karena dua instansi yang terlibat—pihak bandara dan pemerintah daerah—memilih untuk diam, seolah enggan mengambil sikap.
“Jangankan bermohon, berlutut sampai cium kaki pun tidak akan didengar penguasa,” ucap salah satu anggota keluarga dengan nada kecewa yang dalam. Ungkapan tersebut mencerminkan kekecewaan mendalam atas sikap pejabat daerah yang dinilai acuh dan tidak berpihak kepada rakyat kecil.
Keluarga Musa Lauri telah mengadukan masalah ini kepada berbagai pihak, termasuk Bupati Halmahera Selatan. Namun, mereka merasa bahwa pertemuan itu hanya formalitas belaka. “Kami sudah pernah ketemu Bupati, tapi sampai sekarang tidak ada hasilnya. Kami menduga beliau menutup mata terhadap persoalan yang kami hadapi,” ujar salah satu perwakilan keluarga. Mereka merasa seperti bola yang terus ditendang ke sana kemari, berpindah dari satu meja birokrasi ke meja lainnya, tanpa ada satu pun keputusan yang berpihak pada keadilan.
Kini, keluarga memilih jalur terakhir yang mereka anggap masih punya harapan: menemui Gubernur Maluku Utara secara langsung. Mereka menaruh harapan bahwa Gubernur dapat melihat langsung kondisi di lapangan dan memberikan perhatian serius terhadap konflik yang sudah berlangsung lebih dari lima tahun ini. Bagi mereka, tanah bukan sekadar harta—melainkan warisan leluhur, identitas keluarga, dan sumber kehidupan.
“Kami bukan menolak pembangunan. Kami paham bahwa bandara penting untuk masyarakat. Tapi bukan berarti kami harus dikorbankan begitu saja, tanpa musyawarah, tanpa keadilan,” tambah salah satu anggota keluarga yang lain.
Situasi ini menunjukkan potret nyata betapa rumitnya relasi antara warga dan institusi negara ketika prinsip-prinsip keadilan dan keterbukaan diabaikan. Apa yang dialami keluarga Musa Lauri bukan hanya soal kepemilikan tanah, tetapi juga soal keberpihakan negara terhadap rakyat kecil.
Mereka berharap agar suara mereka tidak lagi dipinggirkan. Bahwa hak rakyat, sekecil apa pun, tetaplah hak yang harus dilindungi. Bahwa pembangunan tidak boleh dijadikan dalih untuk merampas tanpa ganti.
Kini mata tertuju kepada Gubernur Maluku Utara. Akankah beliau membuka pintu dialog dan memberikan keputusan yang berpihak kepada kebenaran dan keadilan? Atau akankah keluarga Musa Lauri kembali ditinggalkan tanpa kejelasan, menjadi korban pembangunan yang berjalan tanpa hati? ( Tim/Red )