Opini – Kita yang lahir di era 70–80an layak menyebut diri sebagai generasi paling beruntung. Bukan karena kita sempurna, tetapi karena kita menjadi saksi sekaligus pelaku sebuah loncatan peradaban yang luar biasa. Kita lahir di zaman analog, namun tumbuh dan matang di era digital. Kita pernah hidup sederhana, tapi kini ikut menikmati kemudahan teknologi yang dulu hanya ada dalam imajinasi.
Kitalah generasi terakhir yang pernah mendengar riuhnya mesin ketik, sebelum jari kita kini lincah menari di atas keyboard laptop.
Kitalah generasi terakhir yang merekam lagu favorit dari radio dengan tape recorder, sekaligus kini dengan mudah mengunduh ribuan lagu dari gadget dalam hitungan detik.
Masa kecil kita ditempa oleh permainan fisik: lompat tali, petak umpet, galasin, hingga berlari tanpa henti di lapangan tanah. Tubuh kita sehat bukan karena susu kotak atau vitamin impor, tapi karena keringat yang setiap hari tercurah dari permainan tradisional. Namun di saat yang sama, hari ini kita masih mampu menggerakkan jari dan mata untuk memainkan game digital yang merajai dunia hiburan modern.
Masa remaja kita pun istimewa. Kita adalah generasi terakhir yang merasakan nikmatnya nongkrong bersama geng tanpa harus janji lewat telepon atau pesan singkat. Kita cukup berjanji lewat hati—dan entah bagaimana, selalu saja bisa bertemu. Tawa kita dulu hanya bisa pecah ketika bertatap muka, sementara kini, tawa yang sama tetap bisa kita bagi melalui layar dan koneksi internet.
Kita pernah merasakan jalan raya yang lengang, bersepeda motor menikmati angin segar tanpa helm yang mengekang, berjalan kaki berkilo-kilo meter tanpa rasa takut, hingga menyaksikan acara televisi tanpa terganggu oleh remote yang sibuk berpindah saluran. Kita pernah menunggu surat dari sahabat atau kekasih hati dengan degup jantung yang tak terkira, menyambut pak pos seperti penyampai kabar paling berharga di dunia.
Kita mungkin bukan generasi terbaik, tapi kita adalah generasi “limited edition.” Generasi yang sempat belajar disiplin dan takut pada orang tua, meskipun kadang tetap nakal dan melawan secara diam-diam. Generasi yang tahu mendengar, tahu menghargai, dan tahu merasakan makna dari proses.
Dan kini, di tengah derasnya arus perubahan, kita bisa tersenyum lega: karena kita telah menjalani dua dunia sekaligus, dunia yang penuh kesederhanaan sekaligus dunia yang serba instan.
Kita adalah generasi yang beruntung. Generasi yang tak akan lahir lagi.