HALSEL – pengembangan Bandara Oesman Sadik di Kecamatan Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, digadang-gadang menjadi proyek strategis yang mampu membuka konektivitas dan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi wilayah selatan Halmahera. Namun, di balik semangat dan kesiapan teknis pengembangan, persoalan mendasar justru belum kunjung diselesaikan: pembayaran ganti rugi lahan milik warga yang terdampak proyek bandara.
Sejak dimulainya proses pembebasan lahan pada 2019, para pemilik lahan—yang mayoritas merupakan warga Desa Marabose—mengaku terus menelan janji manis dari Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan tanpa realisasi nyata. Berulang kali didata, dijanjikan pembayaran, hingga diundang ke berbagai pertemuan, namun hasilnya tetap nihil.
“Setiap tahun kami dijanjikan. Katanya tinggal tunggu waktu, tinggal selangkah lagi, tapi sampai hari ini, tak ada satu rupiah pun yang kami terima. Pemerintah daerah cuma pintar berjanji,” tegas salah satu perwakilan warga saat ditemui Mabesnews.
Ironisnya, di saat warga masih terkatung-katung menanti kepastian hak mereka, pihak bandara justru sudah menyatakan kesiapan penuh untuk memperluas fasilitas. Fasilitas pendukung telah mulai dirancang, bahkan proses teknis tinggal menunggu ‘lampu hijau’ dari pemerintah daerah.
“Dari sisi teknis, kami siap. Tapi semua tergantung pemerintah daerah menyelesaikan persoalan pembebasan lahan. Tanpa itu, kami tidak bisa bergerak,” ujar seorang sumber dari internal bandara.
Kekecewaan warga kini memuncak. Mereka menilai pemerintah daerah tidak hanya lalai dalam memenuhi tanggung jawab hukum dan sosial, tetapi juga menciptakan ketidakpastian yang berlarut-larut. Warga yang sebelumnya rela mengorbankan tanah demi kemajuan daerah kini merasa dikhianati.
“Bandara itu penting, kami sangat mendukung. Tapi jangan jadikan kami korban pembangunan. Jangan paksa rakyat untuk terus bersabar sementara hak kami dibiarkan tergantung,” kata salah satu tokoh masyarakat Desa Marabose.
Lebih dari itu, warga menyayangkan minimnya komunikasi resmi dari pihak Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan. Tidak ada surat pemberitahuan, pengumuman terbuka, atau kejelasan tertulis dari Bupati maupun dinas terkait yang menjelaskan status pembayaran.
Warga pun mendesak Bupati Halmahera Selatan untuk segera turun tangan dan memberi kejelasan langsung di lapangan. Mereka juga meminta DPRD setempat menjalankan fungsi pengawasan, memastikan anggaran pembebasan lahan benar-benar disiapkan dan disalurkan sesuai prosedur.
Jika dalam waktu dekat tidak ada respons konkret dari pemerintah, para pemilik lahan mengancam akan menempuh jalur hukum dan melakukan aksi damai sebagai bentuk protes.
“Kesabaran kami sudah habis. Kami tidak akan diam jika tanah kami terus digunakan tanpa kepastian hak. Ini bukan soal uang semata, tapi soal keadilan dan martabat,” pungkas seorang warga yang telah menyerahkan lahannya sejak lima tahun lalu.
Polemik berkepanjangan ini menjadi ujian serius bagi Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan. Di tengah ambisi pembangunan, publik kini menuntut komitmen nyata terhadap keadilan sosial, transparansi, dan akuntabilitas. Sebab, pembangunan yang mengorbankan hak rakyat hanya akan meninggalkan luka yang sulit disembuhkan.
Pewarta:Yasin Ali