Perjuangan Musa Lauri dan Putranya, Nursani Lauri, Menuntut Hak Atas Lahan Yang Di Duga Dirampas Secara Administrasi oleh Pemda Halmahera Selatan

HAL-SEL – Sejak tahun 2020, Musa Lauri dan putrinya, Nursani Lauri, warga Desa Mandaong, Kecamatan Bacan Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Provinsi Maluku Utara (Malut), tidak pernah lelah memperjuangkan hak mereka atas sebidang lahan yang diduga secara Administrasi telah dirampas oleh Pemerintah Daerah Halmahera Selatan. Lahan tersebut, yang terletak di Desa Marabose, Kecamatan Bacan, berjarak sekitar 90 meter dari ujung pagar sebelah utara Bandara Oesman Sadik, kini telah dimanfaatkan oleh pemerintah untuk pengembangan landasan pacu bandara tanpa melalui proses ganti rugi yang sah kepada pemilik lahan yang sebenarnya.

Musa Lauri, bersama anaknya Niken sapaan akrabnya telah berulang kali berupaya melakukan pendekatan dengan pihak Pemda Halsel. Mereka juga pernah mencoba bertemu dengan Almarhum Bupati Halsel, Bapak Hi. Usman Sidik, kemudian juga menghadap Bupati Basam Kasuba, serta melakukan komunikasi langsung dengan pengelola Bandara Oesman Sadik. Namun, semua upaya itu berujung pada kegagalan karena tidak adanya tanggapan serius atau kejelasan sikap dari pihak pemerintah maupun otoritas bandara.

Puncak dari perjuangan ini terjadi pada tanggal 9 Juli 2025, ketika Musa Lauri, Nursani Lauri, dan kuasa hukumnya diundang ke rapat dengar pendapat bersama Komisi II DPRD Halmahera Selatan. Rapat tersebut juga dihadiri oleh perwakilan dari Pemerintah Daerah, pengelola Bandara Oesman Sadik, dan Kantor Pertanahan. Dalam pertemuan tersebut, akhirnya mulai terkuak titik terang atas polemik lahan yang telah berlangsung selama lima tahun ini.

Namun, sebuah kejadian ganjil terjadi dalam rapat tersebut. Sekretaris Dinas Keuangan Kabupaten Halsel, Farid, secara tidak sengaja dan keliru, menyampaikan bahwa lahan milik Musa Lauri telah dibayarkan. Padahal, kenyataan yang sebenarnya adalah lahan tersebut hanya sebatas diperiksa dan dinilai oleh tim penilai dari dinas terkait, namun belum pernah dilakukan pembayaran ganti rugi sebagaimana mestinya. Pernyataan tersebut menciptakan kebingungan dan sempat menimbulkan ketegangan dalam forum, karena bertentangan dengan fakta yang diketahui oleh pemilik lahan dan kuasa hukumnya.

Kejadian ini semakin memperjelas adanya indikasi kelalaian atau bahkan manipulasi administrasi terkait status lahan milik keluarga Lauri. Atas dasar itu, Musa Lauri dan anaknya menegaskan bahwa Pemerintah Daerah Halmahera Selatan dan pihak Bandara Oesman Sadik harus bertanggung jawab secara hukum atas dugaan perampasan lahan secara Administrasi. Mereka menuntut penyelesaian yang adil, berupa pengakuan legal atas kepemilikan lahan mereka serta kompensasi ganti rugi sesuai dengan nilai yang ditetapkan oleh tim penilai independen.

Kasus ini mencerminkan bagaimana masyarakat kecil masih kerap menjadi korban dalam proses pembangunan, terutama ketika tidak ada transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan pemerintah terhadap hak-hak warga. Perjuangan Musa Lauri dan anaknya bukan hanya tentang sepetak tanah, tetapi juga tentang martabat, keadilan, dan keberanian untuk melawan praktik ketidakadilan yang merugikan rakyat kecil.

Kini, masyarakat menantikan komitmen nyata dari DPRD Halsel, Pemda, dan instansi terkait lainnya untuk menyelesaikan kasus ini secara adil dan transparan. Apakah keadilan masih bisa ditegakkan di tanah Halsel? Waktu yang akan menjawabnya.(LM.Tahapary)

Pos terkait