Hal – Sel, – Kepolisian Daerah Maluku Utara (Polda Malut) bersama Kepolisian Resor Halmahera Selatan (Polres Halsel) didesak untuk mengusut tuntas dugaan adanya praktik gratifikasi yang terjadi di lahan Bandara Usman Sadik. Kasus ini telah menjadi sorotan masyarakat sejak tahun 2024, ketika itu adanya pemberitaan tentang dugaan penyimpangan dalam proses pembayaran ganti rugi tanah milik warga yang terdampak pembangunan Bandara Usman Sadik 27/9/2025.
Menurut informasi saat itu, oknum-oknum pegawai terkait diduga menerima sejumlah uang dengan nominal fantastis dari pemilik lahan yang tanahnya sudah terlebih dahulu dibayarkan ganti rugi. Salah satu pemilik lahan yang terdampak adalah Hi. Husen. Berdasarkan perhitungan resmi, nilai ganti rugi yang seharusnya diterima oleh Hi. Husen adalah sebesar dua miliar dua ratus juta rupiah. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa Hi. Husen hanya menerima satu miliar enam ratus juta rupiah saja. Lebih memprihatinkan lagi, dari jumlah tersebut, sekitar enam ratus juta rupiah diduga dibagikan kembali kepada oknum-oknum pegawai walaupun pemberian nya atas inisiatif Hi.Husen sendiri.
Kejadian ini mengundang perhatian dan kekecewaan publik, mengingat praktek gratifikasi seperti ini sangat merugikan masyarakat dan merusak kepercayaan terhadap institusi penegak hukum dan pemerintah daerah. aparat penegak hukum diminta tidak tinggal diam, segera melakukan penyelidikan secara menyeluruh agar kasus ini tidak menjadi preseden buruk dan tidak terulang kembali di masa depan.
Gratifikasi merupakan tindakan menerima sesuatu yang bernilai oleh pejabat atau pegawai negeri yang berhubungan langsung dengan jabatan atau pekerjaannya. Dalam kasus ini, dugaan gratifikasi terjadi dalam proses pembayaran ganti rugi lahan yang menjadi bagian dari proyek pembangunan Bandara Usman Sadik. Dugaan bahwa uang yang seharusnya diberikan secara penuh kepada pemilik lahan justru diselewengkan dan dibagi-bagikan kepada oknum pegawai, hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai integritas dan transparansi proses tersebut.
Dampak dari kasus ini bukan hanya kerugian materi yang dialami oleh warga seperti Hi. Husen, tapi juga menciptakan citra buruk terhadap lembaga penegak hukum dan pemerintah daerah. Masyarakat merasa dirugikan dan tidak mendapat perlindungan yang seharusnya mereka dapatkan sebagai warga negara yang taat hukum.
Selain itu, pihak berwenang juga diminta untuk melakukan audit dan evaluasi terhadap semua pembayaran ganti rugi lahan terkait pembangunan Bandara Usman Sadik. Tujuannya, agar kasus ini menjadi momentum bagi aparat penegak hukum untuk menunjukkan komitmen dalam memberantas gratifikasi dan praktik korupsi di lingkungan kerja mereka. Penanganan yang serius dan profesional atas kasus ini juga diharapkan dapat memberikan efek jera bagi oknum-oknum yang terbukti melakukan tindakan melawan hukum.
Pembangunan infrastruktur seperti Bandara Usman Sadik seharusnya memberikan manfaat besar bagi masyarakat luas, bukan justru menjadi ajang korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu, penegakan hukum yang tegas dan transparan adalah kunci utama agar keadilan dapat ditegakkan dan pembangunan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance.