HALMAHERA SELATAN – Persoalan terkait lahan untuk perluasan runway (landasan pacu) Bandara Oesman Sadik, Kabupaten Halmahera Selatan, kembali memanas. Hal ini dipicu oleh kekecewaan keluarga besar Bapak Musa Lauri, pemilik sah sebidang lahan yang berada di Desa Marabose, Kecamatan Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara.
25/5/2025
Keluarga Bapak Musa Lauri telah berupaya sebanyak tiga kali untuk bertemu langsung dengan Kepala Bandara Oesman Sadik guna membicarakan kejelasan dan keabsahan pemasangan titik koordinat lahan milik mereka yang digunakan untuk pengembangan bandara. Namun, upaya tersebut selalu menemui jalan buntu, sebab Kepala bandara selalu tidak berada di tempat karena dalam perjalanan dinas luar (tugas luar daerah), sehingga membuat keluarga besar pemilik lahan merasa kecewa.
“Kami sudah tiga kali datang ingin ketemu langsung Kepala Bandara, tapi tidak pernah ketemu. Selalu dibilang beliau sedang tugas luar. Sampai kapan terus begini? Kami butuh kepastian,” ujar salah satu anggota keluarga Musa Lauri saat diwawancarai wartawan Berita Baru.
Kekecewaan ini bahkan berujung pada ancaman pencabutan titik koordinat lahan yang telah dipasang oleh pihak bandara. Keluarga menyatakan bahwa pemasangan titik koordinat pada lahan mereka dilakukan sejak tahun 2019 tanpa adanya persetujuan resmi maupun pemberitahuan langsung kepada pemilik lahan. Lebih jauh, mereka juga berencana mengambil langkah hukum jika pihak bandara tetap mengabaikan permintaan mereka untuk berdialog langsung dan menyelesaikan permasalahan ini secara adil.
“Kami merasa hak kami diabaikan. Titik koordinat dipasang di lahan milik kami tanpa ada persetujuan atau dokumen resmi. Ini jelas melanggar aturan dan kami siap tempuh jalur hukum,” tegas perwakilan keluarga lainnya.
Diketahui, lahan milik Bapak Musa Lauri sudah tidak lagi digunakan sejak tahun 2015 karena masuk Zona merah bahkan membangun juga tidak bisa. Namun pada tahun 2019, dilakukan pengukuran terhadap lahan tersebut oleh pihak Kementerian Perhubungan, pemerintah daerah, dan pihak bandara. Dalam proses tersebut, Bapak Musa Lauri juga turut hadir, bahkan diminta berfoto dengan tanaman yang berada di lahannya sebagai bagian dari dokumentasi.
Namun, setelah pengukuran tersebut, tidak ada tindak lanjut ataupun kejelasan mengenai status lahan, proses ganti rugi, ataupun bentuk kompensasi lainnya. Hal ini makin memperbesar kekecewaan keluarga karena merasa tidak adanya iktikad baik dari pihak terkait untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.
“Kami hanya ingin kejelasan. Kami siap berdialog dan cari solusi bersama. Tapi kalau pihak bandara terus menghindar, kami terpaksa ambil langkah tegas,” tambah keluarga Musa Lauri.
Permasalahan ini menggarisbawahi pentingnya komunikasi dan transparansi dalam setiap proses pengadaan lahan untuk kepentingan umum, termasuk proyek perluasan bandara. Ketidak terbukaan informasi dan tidak adanya kejelasan mengenai hak-hak masyarakat, terutama pemilik lahan, dapat memicu ketegangan sosial dan berujung pada konflik hukum yang sebenarnya bisa dihindari.
Sementara menurut pegawai bandara saat di konfirmasi oleh media ini tentang keberadaan KBANDARA mereka mengatakan bahwa, kepala bandara sedang tugas luar.
( LM. Tahapary )